Rabu, 25 Maret 2015

PARA IBU SEBAIKNYA TINGGAL DI RUMAH DAN MERAWAT ANAK SAJA

      Status seseorang setelah menikah secara otomatis berubah, pria lajang kini menjadi suami, wanita lajang kini menjadi seorang istri, dengan tuntutan dan tanggung jawab masing-masing. Beban seorang istri bertambah dengan hadirnya seorang anak. Bagi istri yang secara purna waktu mengurus rumah tangga di rumah, seringkali mengalami kejenuhan dalam melakukan tanggung-jawabnya tersebut. Dia melihat gambaran dari perempuan lain yang sukses sebagai ibu juga sukses bekerja dengan penghasilan yang besar pula sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan dapurnya.
       
Kebanyakan orang akan beranggapan sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari perempuan dalam hal ini istri bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya perempuan tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya perempuan ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
       Seorang istri sekaligus juga ibu seringkali menghadapi dilemma besar jika berhadapan dengan pertanyaan ”apa pekerjaan ibu?” Atau “Ibu sekarang bekerja di mana?” rasanya terasa berat untuk menjawab jika hanya sebagai ibu rumah tangga, Rasanya malu! Padahal, jika seorang perempuan berkhidmat untuk menjadi ibu rumah tangga adalah sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia akan menemukan surga.
         Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Menancapkan tauhid, menanamkan kecintaan pada ilmu, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Tuhan YME, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi.
      
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah.
       Butuh seorang pendidik (ibu) yang ulet, telaten, bersungguh-sungguh, dan dengan tekad yang kuat untuk membentuk anak yang berkualitas, baik fisik lebih-lebih spiritualnya. Dibutuhkan seseorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa yang mampu memahami besarnya peran dan tanggung jawab sebagai manusia, sebagai seorang penerus generasi.
       Anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mendidik dan membesarkan anak bukanlah sekedar memberinya makan, mewujudkan kesuksesan karir anak kita, mengajarkannya agar meraih hidup yang berkecukupan, atau sekedar mempunyai keluarga yang bahagia semata. Mendidik dan membesarkan anak adalah tugas mulia bagi para ibu, mendidik akhlak mereka, membesarkan hati mereka dalam beribadah memahami setiap kekuasaan Allah SWT.

       Tetapi ternyata tidaklah mudah untuk sekadar berterima kasih dan menghargai peran seorang ibu. Sebuah peran suci dan sakral yang kini lebih sering dianggap sebagai peran domestik dan amat tradisional. Karenanya, kini tidak sedikit perempuan, yang kerap lebih bangga menyebutkan berbagai profesi, entah sebagai guru, wartawan, sekretaris, pedagang, atau profesi lain dibandingkan menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga (saja). Seorang ibu harus bisa bangga mengatakan bahwa saya adalah seorang ibu rumah tangga.
       Bukankah seberapa besar manusia mampu menjadi ‘manusia’ tergantung dari seberapa besar dia memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan sekitarnya? Ibu adalah manusia yang sudah begitu banyak  memberikan manfaat bagi anak-anak, suami dan keluarganya. Bukankah guru terbaik seorang ibu adalah pengalamannya sendiri?  Ibu merupakan sosok perempuan yang dengan bangga menentukan sebuah pilihan untuk bekerja sebagai ibu rumahtangga  dan benar-benar berusaha untuk menghayati dan memaknai kariernya itu. Bukankah proses belajar menjadi ibu yang baik adalah proses sepanjang hayat? Ibu adalah sosok pejuang yang tidak akan berhenti belajar begitu satu tahap perkembangan keluarga telah terlampaui, maka masih terdapat milyaran tahapan pembinaan keluarga yang harus dijalani. Bukan sekadar mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari.  Namun seorang ibu akan terus belajar membesarkan dan mendidik anaknya serta mengembangkan potensi diri hingga tutup usia.

      
Banggalah perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, membesarkan dan menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Allah SWT akan membantu sebesar apapun masalah dan kesulitan para ibu. Tetapi semua itu hanya mungkin terjadi jika seorang perempuan, seorang hamba, seorang ibu mampu berlaku ikhlas serta mau melibatkan Allah SWT dalam setiap detik pengabdiannya sebagai seorang ibu rumah tangga.


(Dikutip Dari Berbagai Sumber Untuk Materi Debat Bahasa Indonesia Tingkat Kabupaten Brebes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar