Sabtu, 15 Mei 2010

ASAL-USUL NAMA BEBERAPA DAERAH DI KABUPATEN BREBES (“Tancep Kayon”)


Sri Baduga Maharaja (Prabu Silihwangi II) adalah seorang raja di daerah Galuh Jawa Barat sebelum berdirinya Kerajaan Pajajaran di Jawa. Baginda raja memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Sri Poaci Naganingrum yang sangat ayu atau cantik dan beliau pun memiliki seorang istri selir yang bernama Dewi Pangrenyep.
Pada saat yang bersamaan kedua istri Baginda Raja ini mengandung. Istri selir; Dewi Pangrenyep, melahirkan seorang putra terlebih dahulu dan diberi nama Raden Arya Bangah. Namun, kandungan Permaisuri Dewi Sri Poaci Naganingrum belum juga menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan padahal usia kandungannya telah tiba waktunya untuk melahirkan. Sehingga timbul praduga yang tidak baik mengenai kejadian tersebut di kalangan istana. Hal ini kemudian sengaja dimanfaatkan oleh istri selir Dewi Pangrenyep untuk membuat fitnah. Tujuannya adalah untuk menyingkirkan keberadaan Dewi Sri Poaci Naganingrum dari istana.
Untuk menjalankan aksinya, Dewi Pangrenyep kemudian menyusun siasat. Rencananya, Dewi Pangrenyep telah melakukan konspirasi dengan seorang dukun bayi. Hal ini dilakukan agar saat Dewi Sri Poaci Naganingrum akan melahirkan, maka Dewi Pangrenyep akan berpura-pura menawarkan bantuan jasa untuk membantu proses persalinannya. Kemudian saat yang dinantikan pun datang, Dewi Sri Poaci Naganingrum melahirkan. Di dalam bilik bersalin itu hanya terdapat seorang dukun bayi, Dewi Sri Poaci Naganingrum, dan Dewi Pangrenyep. Lahirlah seorang jabang bayi laki-laki, saat bayi tersebut lahir dengan segera Dewi Pangrenyep menggantinya dengan seekor anak anjing.
Setelah proses persalinan selesai, bayi laki-laki putra dari Dewi Sri Poaci Naganingrum kemudian segera dimasukkan kedalam sebuah Kandaga (tempat menyimpan perhiasan keluarga raja). Lalu dukun bayi tersebut membuang kandaga yang berisi anak dari Dewi Sri Poaci Naganingrum dan menyertakan sebutir telur di dalamya (sebagai bentuk sesajen keselamatan) dengan cara melarungnya di sungai Citandui. Tak berapa lama setelah proses persalinan Dewi Sri Poaci Naganingrum istana dibuat geger sebab ternyata anak yang dilahirkan oleh Dewi Sri Poaci Naganingrum adalah seekor anak anjing. Ulah dari Dewi Pangrenyep ini kemudian sampai ke telinga Baginda Sri Baduga Maharaja. Suasana tersebut tidak disia-siakan oleh Dewi Pangrenyep untuk mempengaruhi Sri Baduga Maharaja agar membunuh Dewi Sri Poaci Naganingrum. Kemudian disuruhlah seorang algojo dari istana untuk membunuh Dewi Sri Poaci Naganingrum karena telah mencoreng nama istana dengan kelahiran putranya tersebut. Kemudian diputuskanlah bahwa Dewi Sri Poaci Naganingrum dibunuh di luar istana agar tidak membawa nasib buruk bagi istana. Namun, ternyata algojo itu tidak tega membunuh Dewi Sri Poaci Naganingrum dan akhirnya dititipkan pada salah satu keluarga petani. Dewi Sri Poaci Naganingrum kemudian pergi bertapa ke sebuah hutan yang dipercaya sangat angker dan tidak diperbolehkan dimasuki oleh sembarangan orang, maka hidup Dewi Sri Poaci Naganingrum sebatang kara di hutan tersebut. Lalu terkenallah hutan tersebut sebagai Hutan Larangan. Artinya, hutan yang tertutup atau terlarang bagi sembarang orang.
Al kisah, bayi yang dibuang ke sungai Citandui kemudian ditemukan oleh seorang pasangan suami istri pencari ikan yang hidup di tepi hutan. Kakek nenek yang kebetulan tidak memiliki anak itu sangat senang dengan penemuan kandaga berisi bayi tersebut. Mereka bertanya-tanya siapakah gerangan orang tua bayi tersebut. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk memelihara bayi yang mereka temukan di sungai tadi. Sesampainya di gubuk mereka telur ayam yang ada dalam kandaga kemudian mereka campurkan ke dalam sarang ayam yang sedang mengerami telur-telurnya. Kemudian telur tersebut menetas menjadi seekor jago dan diberi nama Abang Prenatas.
Belasan tahun kemudian, di istana Raden Arya Bangah Putra Dewi Pangrenyep telah beranjak menjadi remaja. Begitu pula dengan bayi Dewi Sri Poaci Naganingrum yang tumbuh sebagai sosok pemuda yang gagah. Pada suatu hari kakek nenek itu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan diajaklah anak Dewi Sri Poaci Naganingrum itu. Didalam perjalanan anak tersebut banyak bertanya tentang apa saja yang dia temui di hutan. Suatu saat dia mendengar suara burung-burung dan melihat kearah suara lalu bertanya “Kek, apa itu?” si kakek pun menjawab “Itu Ciung namanya” tak berapa lama anak itu pun mendengar suara jeritan dari atas pohon yang berasal dari kawanan monyet karena penasaran ia pun bertanya kembali pada si kakek “Kalau itu apa Kek namanya?” lalu dijawab oleh kakek “Kalau itu Wanara namanya”. Anak itu kembali bertanya pada kakek itu “Kalau aku apa namanya Kek?”, maka kakek nenek itu saling bertatap kebingungan karena anak itu memang belum diberi nama sebab mereka berdua terbius oleh rasa gembira karena menemukan anak itu. Lalu anak itu pun diberi nama Ciung Wanara.
Seiring berjalannya usia, Ciung Wanara pun mulai bertanya tentang asal muasal kehidupan penghuni hutan hingga ia bertanya tentang asal-usul kelahirannya. Pada akhirnya Ciung Wanara mengetahui bahwa kakek nenek yang selama ini membesarkannya bukanlah orang tua kandungnya. Kakek nenekitu pun menceritakan bagaimana mereka sampai menemukan Ciung Wanara yang berada di dalam kandaga beserta telur ayam yang sekarang telah menetas menjadi seekor jago yang terseret arus Citandui waktu itu. Akhirnya muncullah tekadnya untuk mencari siapa gerangan orang tua yang sesungguhnya.
Suatu hari Ciung Wanara pun berpamitan kepada orang tua asuhnya itu untuk berangkat ke kota besar sambil membawa jagonya. Ciung Wanara berniat ingin melihat sabung ayam di istana. Terdapat kebiasaan menyabung ayam sebagai hiburan para pembesar istana dengan menggunakan taruhan yang besar. Terkenal di kalangan para penyabung ayam jika jago milik Raden Arya Bangah yang bernama Liring Galing sangat hebat dan selalu menjadi pemenang dalam sabung ayam. Tibalah Ciung Wanara di alun-alun istana, di mana sabung ayam biasa dilakukan.
Singkat cerita pertarungan antara jago milik Ciung Wanara, Abang Prenatas dengan jago milik Raden Arya Bangah, Liring Galih pun terjadi. Disaksikan sebagian besar warga Bumi Pakuwon yang menggerumuni alun-alun ingin menyaksikan pertarungan jago raja mereka terkenal hebat dan telah berkali-kali memenangkan pertarungan. Di Balik pertarungan itu Ciung Wanara dan Raden Arya Bangah saling bertaruh. Taruhannya adalah apabila jagi Ciung Wanara yang menang, maka Ciung Wanara meminta separuh kerajaan di wilayah kekuasaan Raden Arya Bangah dan jika Ciung Wanara yang kalah ia rela lehernya menjadi jaminan. Pada akhirnya jagi Ciung Wanara yang menjadi pemenang tetapi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dilanggar oleh Raden Arya Bangah yang tidak mau membagi wilayahnya kepada Cing Wanara sebagai pemenang.
Terjadilah pertempuran hebat antara keduanya. Pada akhirnya Raden Arya Bangah hanya berhasil menguasai wilayah Pakuwon Timur bersama pendukungnya sedangkan Ciung Wanara bverhasil menguasai Pakuwon Barat. Perjanjian perdamaian memang sudah sering dilaksanakan dan disepakati antara keduabelah pihak tetapi pada kenyataannya dalam waktu singkat perjanjian itu dilanggar. Hal itu yang sering terjadi pada orang-orang di Pakuwon Timur. Sebagian besar masyarakatnya tidak mau mengakui kekalahan rajanya dengan alasan yang bermacam-macam. Ada yang masih merasa getem atau jengkel tidak terima dengan kekalahan. Di Pakuwon Barat pun demikian, bahkan sebagian warga ada yang melarang anak gadis atau bujangnya untuk menikahi warga Pakuwon Timur. Ada juga yang tidak mau berdagang dengan orang ”sabrang kali” atau orang seberang sungai perbatasan itu, maksudnya Pakuwon Barat. Namun, hal seperti itu tidak berlaku bagi warga Pakuwon Timur. Mereka menganggap hal itu sebagai Sesutu yang lumrah, wajar bagi mereka. Biasanya hal yang biasanya diangga wajar, lumrah justru sering tersingkirkan, terdesak dan dianggap kalah, pihak yang dianggap aneh. Hanya sejarah yang membuktikan bahwa siapapun yang benar akan tercatat benar sedangkan yang salah akan tetap diingat-ingat.
Kekecewaan dan kemarahan orang-orang Pakuwon Timur terus menjadi apalagi rajanya sendiri tidak mampu mencegahnya bahkan seringkali memprofokasi, memanas-manasi rakyatnya untuk menyerang orang Pakuwon Barat dibawah kekuasaan Ciung Wanara. Seiring berjalannya waktu surutlah kemakmuran dan kejayaan Pakuwon Timur hingga pada suatu waktu ketika terjadi ekspansi kekuasaan dari sebuah kerajaan besar di bumi Jawa Timur, kerajaan Raden Arya Bangah berhasil ditaklukkan sedangkan Ciung Wanara dan orang Pakuwon Barat memindahkan kekuasaannya semakin jauh ke arah barat melewati sungai Citandeui (sekarang menjadi perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah).
Perpindahan dan kemunduran kekuasaan itu tidak serta merta menghapus jejak peninggalan yang telah tertanam di Bumi Pakuwon Barat (Ciung Wanara). Meskipun sejarahnya tidak banyak tertulis di dalam buku tetapi tersimpan dalam dongeng, legenda, babad, riwayat, dan kisah-kisah yang dituturkan para sesepuh, Meskipun banyak hulu cerita yang kabur dan tidak jelas mengenai symbol, perlambang, pantangan, tradisi, asal-usul nama tempat di Brebes dan beberapa kota di sekitarnya ini tetapi muaranya jatuh pada sebuah cerita yang berkaitan dengan Ciung Wanara. Ternyata bermacam cerita yang berhasil dirangkum dari berbagai sumber berbagi cerita, dongeng, riwayat, dan legenda itu diwariskan oleh Kerajaan Pakuwon yang pada saat itu berada di wilayah yang sekarang bernama Bumiayu wilayah di sebelah selatan Kabupaten Brebes.
Apabila serius diteliti dimungkinkan peninggalan berupa sisa-sisa bangunan kerajaan, candi, prasasti, atau barang-barang antic peninggalan kejayaan Kerajaan pakuwon bisa ditemukan. Namun, diluar bukti-bukti otentik itu pun Bumi Pakuwon telah banyak meninggalkan bukti berupa kisah, dongeng, riwayat, babad, dan legenda yang pantas dijadikan pelajaran dan dipetik hikmahnya bagi pelajaran kehidupan warga Brebes saat ini.
Legenda Ciung wanara dari Bumi Pakuwon ini pasti mengingatkan orang pada legenda yang sama dari bumi Pajajaran di Jawa Barat. Disana pernah juga berdiri Kerajaan Pakuan yang dalam pelafalan atau pengucapan sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan Kerajaan Pakuwon. Lantas jika dipertanyakan apakah Pakuan itu sama dengan Pakuwon? Jawabannya tentu lebih tepat jika ahli sejarah yang memberikannya sebab keterbatasan pengetahuan penulis dan tidak dilakukannya penelitian lebih dalam mengenai dua kerajaan itu oleh penulis.
Yang jelas, legenda Ciung Wanara dari Bumi Pakuwon telah melahirkan nama-nama daerah di Brebes dan sekitarnya. Kata lain atau sinonim dari kata pantangan adalah pepali (sansekerta) yang bunyinya dekat sekali dengan nama sungai di Brebes yaitu Pemali. Dikisahkan pula bahwa sungai pemali itulah yang memisahkan dan menjadi pembatas wilayah antara Kerajaan Pakuwon Barat dan Pakuwon Timur. Diceritakan pula bahwa sungai Pemali itu menyimpan cerita ketika terjadi peperangan antara kedua wilayah bahwa munculnya pantangan (pepali) yang mengingatkan siapa saja warga Pakuwon Timur agar tidak menyeberangi sungai untuk menyerang atau ingin berbuat jahat pada Pakuwon Barat yang notabene tidak pernah mempermasalahkan pertikaian yang telah terjadi antara rajanya dulu. Oleh karena itu, kemudian jadilah nama sungai itu menjadi Sungai Pemali seperti sekarang ini. Bahkan sampai saat ini masih ada kepercayaan yang mengatakan sungai Pemali akan menghapus kekuatan gaib atau ilmu hitam (guna-guna, tenung, santet) yang melintas atau menyeberaninya untuk suatu kejahatan.
Pada saat terjadi perebutan kekuasaan kedua pangeran muda tersebut kemudian dikisahkan berpisah karena adanya ekspansi dari salah satu penguasa dari Jawa Timur sehingga Pakuwon Timur bisa ditaklukkan dan Raden Arya Bangah maupun Ciung Wanara masing-masing mengambil keputusan untuk meninggalkan Bumi Pakuwon. Perjalanan keduanya saat meninggalkan Bumi Pakuwon menyusuri aliran anak sungai Pemali yang merambat (jawa; merembet) melewati bukit-bukit di gunung Kumbang di sekitar hutan Larangan itu kemudian menjadi cerita lahirnya nama anak sungai Pemali yaitu Sungai Rambatan yang juga melewati desa Larangan.
Di sekitar sungai Rambatan itu dahulu banyak mengalir sungai-sungai kecil dari bukit-bukit anak dari gunung Kumbang yang masih berada di sekitar hutan Larangan dan sungai-sungai kecil itu banyak ditumbuhi oleh tanaman pandan liar. Sungai-sungai kecil tersebut dalam bahasa jawa dikenal dengan nama kalen dan dari situ kemudian lahir sebuah desa di sekitar aliran sungai Rambatan yang banyak dilewati sungai-sungai kecil (jawa; kalen) yang ditumbuhi tanaman pandan yaitu Desa Kalenpandan.
Ketika terjadi peperangan yang tidak berkesudahan itu, antara Raden Arya Bangah dan Ciung Wanara diceritakan mereka berjalan menyusuri sungai Pemali ke arah selatan dan beristirahat untuk berfikir tentang peperangan yang telah menelan banyak korban itu dan dirasakan peperangan hanya membawa kerugian saja. Perasaan (jawa; pangrasan) yang muncul dari kedua pangeran dari kerajaan Pakuwon itu saat beristirahat di suatu tempat ketika memikirkan peperangan yang selama ini berlangsung kemudian menjadikan tempat itu sekarang bernama Desa Pangarasan. Dikisahkan pula saat sering terjadi permusuhan dan penyerangan terjadi pula perundingan dan perundingan itu kerapkali dilakukan di sebuah batu karang yang lebar dan besar yang rata berbentuk seperti meja (balai) sehingga kemudian muncul nama Desa Karangbale.
Namun, perang masih sering berlangsung dan menelan banyak korban. Untuk itu di sekitar sungai Pemali di daerah Pasanggrahan Brebes kota ada sebuah desa yang bernama Desa Terlaya. Nama Terlaya sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa kuno (sansekerta) yaitu Pralaya yang berarti mati. Desa itu sesungguhnya lahir untuk mengingatkan kematian para prajurit Pakuwon Timur yang mati saat menyerang Pakuwon Barat di sekitar Desa Pasanggrahan. Nama Pasanggrahan sendiri merupakan bahasa Jawa yang bermakna tempat peristirahatan. Ketika siang para prajurit berperang dan malam hari mereka beristirahat dan tempat peristirahatan itu kemudian dijadikan nama Desa yaitu Desa Pesanggrahan.
Di daerah Bumiayu sendiri ada sebuah nama hutan yang dulu menjadi tempat pembuangan sekaligus tempat bersemedi Dewi Sri Poaci Naganingrum dan hutan itu tertutup atau terlarang bagi sembarang orang untuk memasukinya. Riwayat itu terkait erat dengan kisah Dewi Sri Poaci Naganingrum yang waktu itu hendak dibunuh oleh Prabu Silihwangi II (ayah Raden Arya Bangah) karena difitnah Dewi Pangrenyep dengan mengatakan Dewi Sri Poaci Naganingrum telah melahirkan anak anjing. Ternyata oleh sang algojo ia ditipkan kepada seorang petani dan selanjutnya bertapa di hutan yang terlarang dimasuki oleh sembarang orang. Dari situ muncullah nama hutan larangan dan wilayah hutan itu sangat luas hingga berada di tepian sungai pemali bagian selatan melawati perbukitan gunung kumbang. Hutan ini berada di wilayah Bumiayu; Bumiayu berasal dari suatu wilayah (bumi) dimana ada seorang putri cantik (jawa; ayu) yaitu Dewi Sri Poaci Naganingrum yang pernah tinggal di daerah tersebut sehingga muncul nama Desa Bumiayu.
Telah diikisahkan pula di atas bahwa sungai Pemali itulah yang memisahkan dan menjadi pembatas wilayah antara Kerajaan Pakuwon Barat dan Pakuwon Timur. Sungai Pemali menjadi pembatas (jawa; pepalih) yang berarti menjadi pantangan sekaligus larangan pada siapa saja warga Pakuwon Timur agar tidak menyeberangi sungai untuk menyerang atau ingin berbuat jahat pada Pakuwon Barat. Dari peristiwa itulah kemudian muncul nama Desa Larangan.
Ketika terjadi pertarungan yang sangat dasyat antara jago milik Ciung Wanara, Abang Prenatas dengan jago milik Raden Arya Bangah, Liring Galih diceritakan bahwa ketika jago-jago mereka itu selesai bertarung jago mereka dimandikan untuk menghapus luka dan noda darah di sebuah sumur di sekitar hutan Larangan yang banyak ditumbuhi pula oleh rotan (jawa ; kayu penjalin). Jago-jago mereka kemudian ditenggerkan di antara rumpun sulur rotan-rotan yang menggelantung di sekitar sumur. Tempat memandikan dan menenggerkan (menaruh jago) untuk dimandikan itu kemudian menjadi nama Desa Penjalinbanyu (gabungan kata rotan dan air). Ketika memandikan jago, air yang diambil dari sumur itu ditempatkan di sebuah kandaga (guci atau gentong yang terbuat dari tembaga) dan kemudian hal itu dikisahkan yang memunculkan nama Desa Kendaga.
Kabupaten Brebes merupakan wilayah perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tegal, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap sedangkan sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Kabupaten Brebes resmi berdiri pada hari Senin Kliwon 18 Januari 1678 dengan Bupati pertamanya bernama Raden Arya Suryalaya.
Bagaimana dengan nama Brebes itu sendiri? Nama Brebes diperkirakan ada hubungannya dengan nama Gunung Beribis yang berada di daerah selatan hutan Larangan. Dari gunung Beribis itulah dikisahkan mengalir sebuah sungai yang bernama Sungai Beribis dan bermuara ke Laut Jawa. Sungai Beribis itu kemudian lebih dikenal dengan nama Sungai Pemali. Nama Beribis kemudian banyak diucapkan bèrébés sehingga kemudian menjadi brebes. Dengan demikian, nama Brebes merupakan penyesuaian pelafalan atau pengucapan nama Gunung Beribis dan Sungai Beribis yang menjadi sumber kehidupan masyarakan Bumi Pakuwon yang agraris (hidup dari pertanian) saat itu.
Ada kisah lain yang menyebutkan jika nama Brebes lahir dari pemahaman masyarakat mengenai kondisi alam yang saat itu berupa hamparan tanah yang sangat luas yang selalu basah karena digenangi oleh air. Sangat wajar apabila hamparan tanah yang sangat luas itu merupakan endapan dari luapan Sungai Pemali sehingga membentuk seperti rawa-rawa. Tanah luas juga ada yang menyebutnya dengan istilah bara dan banyaknya air yang membuat tanah meyerap air (jawa; merembès) sehingga menjadi basah kemudian berubah karena penyesuaian pengucapan dari bara merembès ¬menjadi bèrébés kemudian berubah menjadi bribes yang berarti tanah luas yang selalu basah.