Mendukung
(Pro)
Tentu kita sudah sering
mendengar atau membaca bahkan mengetahui melalui media massa tentang tindakan
kriminal yang marak terjadi di negara kita. Dari segi usia, pelaku tindak
kriminal didominasi oleh orang dewasa namun fenomena yang cukup menyengangkan
pun juga kita ketahui bahwa anak-anak yang notabene masih tergolong remaja
bahkan berstatus pelajar pun, ada yang menjadi pelaku tindak kejahatan
(kriminal). Apakah pelaku kejahatan yang berasal dari kalangan remaja khususnya
pelajar juga akan mendapatkan sanksi pidana?
Melihat fenomena yang
terjadi di zaman ini. Banyak siswa yang menjadi pelaku tindak kejahatan yang
tergolong dalam tindakan kriminal. Tentunya hal ini sangat miris jika harus
membayangkan perasaan orang tua mereka yang mengetahui bahwa anaknya yang
seharusnya masih mengenyam pendidikan harus berada di kursi pesakitan di
pengadilan bahkan harus mendekam di balik jeruji besi. Namun, bila dilihat dari
segi usia pelaku kriminal di kalangan remaja, rata-rata siswa telah berusia 16
s.d. 17 tahun. Tindakan kriminal yang dilakukan pun banyak yang dikategorikan
kejahatan berat dan merugikan korbannya, seperti pembunuhan, penganiayaan
berat, hingga pelecehan seksual.
Kita ketahui bersama
bahwa dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pasca amandemen ketiga lalu disahkan pada
10 November 2001 menyatakan bahwa
Indonesia merupakan negara hukum. Artinya, segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan,
kenegaraan, dan pemerintahan harus senantiasa
berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan tegaknya supremasi hukum di
Indonesia maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
lembaga hukum atau pejabat berwenang sesuai prosedur dan bentuk tertentu. dalam
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (disingkat KUHP), mengenai tata pelaksanaan berkaitan dengan
hukum pidana di negara kita yang tidak membedakan siapa pun. Maka prinsip ini
sejalan dengan asas yang dianut dalam hukum acara pidana yaitu perlakuan yang
sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan atau
dikenal dengan istilah isonamia atau equality
before the law.
Hukum harus tetap
ditegakkan karena kita ketahui bersama bahwa hukum tidak memandang status
sosial seseorang, tidak melihat kedudukannya di masyarakat sehingga hal ini
berarti semua subjek hukum yang memenuhi unsur yang terkandung dalam ketentuan
mengenai pola tingkah laku yang melanggar hukum dapat dikenai sanksi hukum.
Jadi, siswa yang melakukan tindakan kriminal dapat dikenai sanksi hukum. Sebab
pada dasarnya hukuman yang diberikan untuk suatu individu bertujuan untuk
membuat jera pelakunya kemudian tidak melakukan perbuatan yang salah untuk kesekian
kalinya dan mau kembali ke jalan yang benar.
Selain itu, tindakan
kriminal merupakan tindakan yang sangat merugikan orang lain. Tindakan kriminal
dapat berdampak pada korban kejahatan, baik secara materi maupun psikologis.
Jika kita menyebut tindakan kriminal yang dilakukan oleh siswa hanya sebatas
istilah ”kenakalan remaja” maka dampaknya akan sangat vatal. Misalnya seorang
siswa melakukan penganiayaan di sekolah maupun di luar sekolah secara
berkelompok hingga menyebabkan korbannya terluka parah maka hal ini bukanlah dikatakan
sebagai kenakalan remaja lagi namun dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Secara materi korban tindak kriminal ini dapat berbentuk fisik korban yang
terluka, orang tua pun harus mengeluarkan biaya pengobatan sedangkan secara
psikologis, korban bisa mengalami trauma, tidak mau lagi berangkat sekolah
karena diliputi rasa takut sehingga banyak kerugian yang diakibatkan perbuatan
kriminal. Apalagi jika tindakan penganiayaan itu telah direncanakan maka sanksi
berat pantas untuk diberikan kepada para pelakunya atau dengan kata lain
meneruskan kasus kriminal tersebut ke ranah hukum.
Hal
ini sesuai dengan bunyi Pasal 351 KUHP Ayat 1 berbunyi “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah”.
Sementara
itu, dalam Pasal 170 Ayat 1 disebutkan “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan”.
Pihak sekolah pun bisa
mengambil tindakan tegas bagi siswa yang telah melakukan perbuatan kriminal.
Tindak lanjut yang dapat direalisaikan salah satunya dengan memanggil orang tua
atau wali murid untuk hadir ke sekolah untuk selanjutnya sekolah mengembalikan
pendidikan dan pembinaan anak kepada orang tua atau wali murid bersangkutan.
Hal ini tentu sudah menjadi aturan baku dan ketetapan pihak tentang aturan
sekolah dan sanksi bagi pelanggar aturan atau tata tertib seperti melakukan
pengamcaman, perundungan, perkelahian, tindak kekerasan, pengancaman, menyimpan
dan mengedarkan narkoba, menikah, dll.. Dengan menindak tegas setiap pelaku
kejahatan atau tindakan kriminal yang dilakukan siswa sesuai aturan yang
berlaku di sekolah maka esensinya sekolah sedang melakukan penegakan hukum atas
apa yang siswa perbuat sebagai konsekuensi setiap bentuk pelanggaran tata
tertib.
Pasal
368 KUHP mengatur tentang pemerasan dan pengancaman. Pasal 368 KUHP Ayat 1
berbunyi “Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang
lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.
Selain
sanksi hukum yang diberikan menurut Undang-undang maupun tindakan tegas dari
pihak sekolah, siswa yang melakukan tindakan kriminal juga layak mendapatkan
sanksi sosial. Secara sederhana, kita mengenal ada norma yang berlaku di
masyarakat kita seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kebiasaan atau
adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan efek atau
memunculkan reaksi, baik berupa hukum adat, cemoohan, atau pengucilan. Secara
religious (norma agama) pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi dosa.
Dapat
disimpulkan bahwa segala bentuk tindakan kriminal yang dilakukan siswa
diperlukan penanganan serius. Tentunya hal ini selain untuk memberikan efek
jera kepada pelaku tindak kriminal juga sebagai bentuk penegakan hukum dan
Undang-undang yang berlaku di negara kita yang diketahui sebagai negara hukum
yang tidak memandang siapa pun pelaku kriminalitas.
Menolak
(Kontra)
Kita mengetahui bersama
bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Artinya,
segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan, dan pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan
ke-4 disebutkan bahwa : “Negara
Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan
konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum
ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (supremacy of law).
Ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah:
1. Pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
2. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan
apapun juga.
3. Legalitas
dalam arti segala bentuknya.
Melihat pada poin (1) yang menyebutkan bahwa Indonesia
sebagai negara hukum wajib memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi,
dan kebudayaan. Hal ini dapat kita maknai secara global bahwa siapapun pelaku
kriminal berhak diperlakukan adil dan mendapatkan pengakuan serta perlindungan
dihadapan hukum dan peradilan sesuai Undang-undang sebagaimana tercantum dalam
pasal 27 ayat (1), yang intinya Indonesia
menjujung kesamaan kedudukan dan hak setiap warga negaranya dihadapan hukum
tanpa terkecuali.
Berdasarkan hal
tersebut, untuk menindak pelaku kriminal dari kalangan siswa pun perlu adanya
penyelidikan khusus sebelum diputuskan bahwa tindakan yang dilakukan pelaku
kriminal dari kalangan siswa memenuhi unsur perbuatan pidana. Kita wajib
menggali, menganalisis, mengetahui, memperhatikan dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Jangan sampai perlakuan dan
pemberian sanksi terhadap siswa yang melakukan tindakan kriminal malah
mengakibatkan psikologi anak terganggu, siswa mengalami depresi, dikucilkan
dari masyarakat, atau dinilai sebagai penjahat. Hal ini sebagaimana tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menyebutkan
yang intinya penempatan anak yang sedang dalam proses peradilan dapat
ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling
mendasar dalam Undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai
Keadilan Restoratif (pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya)
dan Diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana) yang darurat untuk menghindari dan
menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi (penandaan
terhadap seseorang yang dianggap buruk karena melakukan tindakan kriminal) terhadap
anak yang penuh dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar.
Hal
ini mengisyaratkan bahwa siswa yang menjadi pelaku tindakan kriminal diusahakan
agar mendapatkan pembinaan dan pendampingan dari LPKA sehingga mereka terhindar
dari proses peradilan pidana. Mereka pun bukan dipenjarakan melainkan
ditempatkan di LPKA supaya dapat mengembalikan mental dan kepribadian mereka
sesuai norma pergaulan remaja sehingga kelak mereka dapat kembali ke lingkungan
sosial tanpa merasa malu, dikucilkan atau dipinggirkan dari pergaulan.
Semua
pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, baik kejaksanaan, kepolisian,
pengadilan, orang tua, dan guru, tentu secara bersama-sama harus ikut mengatasi
masalah dan menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi
lebih baik dengan membentuk korban, anak (siswa) sebagai pelaku kriminal, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, maupun
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Jangan sampai keputusan
menghukum siswa yang melakukan tindakan kriminal malah mengakibatkan mereka
ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana atau bahkan mereka meneruskan
tindakan buruk mereka dan terjerumus ke ranah kejahatan.
Sanksi
pidana atau hukuman yang dikenakan kepada anak pun harus memperhatikan kategori
usia. Kita tidak bisa memukul rata bahawa siswa yang melakukan tindak kriminal
harus diberikan sanksi pidana. Sanksi pidana yang diberlakukan kepada siswa
yang melakukan tindakan kriminal harus lebih manusiawi dengan berdasarkan
kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 82 SPPA bagi anak yaitu berupa sanksi
tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi pengembalian kepada
orangtua/wali untuk dibina dalam lingkungan keluarga, penyerahan kepada
seseorang atau perawatan di rumah sakit atau di LPKS (Lembaga Perlindungan
Korban dan Saksi), berkewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan SIM, dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana.
Sedangkan
untuk anak usia 15 tahun ke atas dapat dikenakan sanksi pidana pokok yang
terdiri atas pidana peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan
dalam lembaga, maupun dapat berupa pidana tambahan berbentuk perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak kriminal atau pemenuhan kewajiban adat.
Jika
siswa sebagai pelaku tindak kriminal yang sedang melakukan proses peradilan pun
harus diperhatikan hak-haknya, seperti:
1.diperlakukan
secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
2. dipisahkan
dari orang dewasa;
3. memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
4. melakukan
kegiatan rekreasional;
5. bebas
dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan derajat dan martabatnya;
6. tidak
dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
7. tidak
ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;
8. memperoleh
keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;
9. tidak
dipublikasikan identitasnya;
10. memperoleh
pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
11. memperoleh
advokasi sosial;
12. memperoleh
kehidupan pribadi;
13. memperoleh
aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
14. memperoleh
pendidikan;
15. memperoleh
pelayananan kesehatan; dan
16. memperoleh
hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa
anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
1. Remisi
atau pengurangan masa pidana;
2. Asimilasi;
3. Cuti
mengunjungi keluarga;
4. Pembebasan
bersyarat;
5. Cuti
menjelang bebas;
6. Cuti
bersyarat;
7. Hak-hak
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, siswa
yang bermasalah karena melakukan tindakan kriminal pun sebaiknya tidak
mendapatkan sanksi secara berlebihan. Jika memang ingin memberikan efek jera
cukup dengan memberikan sanksi sosial tanpa membawa mereka ke meja hijau.Mereka
hanya perlu diarahkan dan dibimbing agar mengetahui dan memahami bahwa setiap
keputusan terhadap tindakan mereka pasti memiliki risiko yang harus mereka
tanggung. Kebanyakan remaja masih labil dalam memutuskan sesuatu. Diharapkan
dengan melakukan tindakan preventif (pencegahan) semenjak dini melalui
sosialisasi dari pihak-pihak terkait seperti kepolisian, kejaksanaan, atau
melalui pendekatan personal oleh guru di sekolah serta peran aktif orang tua di
lingkungan keluarga diharapkan dapat meminimalisir tindak kriminal yang
dilakukan oleh siswa.
Sebagai bahan lomba debat bahasa Indonesia SMA/SMK Kab. Brebes 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar