Jumat, 23 Februari 2018

PEMERINTAH SEHARUSNYA MEMENJARAKAN ANAK-ANAK PUNK


MENDUKUNG (PRO)

Punk adalah bukan sekedar musik tapi lebih kepada sebuah gerakan anak muda (youth movement) yang memposisikan dirinya sebagai perlawanan (counter) terhadap kemapanan, anti sosial,  dan salah satu sarana kreatifitas mereka adalah musik dalam hal ini adalah Punk. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.

Mereka yang menjadi pengikut aliran punk kemudian dikenal dengan nama punker. Sebagaimana diketahui bahwa gaya hidup yang dianut kaum punker ini jauh dari tertib, jauh dari kata normal, jauh dari istilah teratur. Gaya hidup mereka lebih condong ke arah kebebasan bahkan anarkisme. Mereka memiliki ideologi yang mengutamakan kebebasan, mengatur diri sendiri. Mereka merasa jika hukum dan aturan merupakan bentuk kediktatoran, tata tertib merupakan belenggu kehidupan yang bersifat memaksakan kehendak. Bahkan mereka menganjurkan agar masyarakat tanpa negara. Mereka berpendapat jika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa perlu adanya campur tangan dari negara.

Hal yang menjadi identitas mereka adalah rambut Mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala freecut dan diwarnai dengan warna yang mencolok (terang), tubuh dipenuhi tattoo, suka berkeliaran di jalanan, nongkrong di lampu-lampu merah dengan pakaian urakan, celana robek-robek, muka lusuh, rantai, sepatu boot, dan kaos oblong warna hitam dengan gambar seram. Dengan melihat penampilan mereka yang terkesan urakan dan dekil saja sudah mengganggu pemandangan sebagai masyarakat timur. Mereka membawa budaya barat yang sangat bertentangan dengan budaya Indonesia yang luhur, agung, dan sangat santun. Jika mereka masih dibiarkan berkeliaran maka bukan tidak mungkin, gaya maupun penampilan mereka kemudian diikuti oleh anak-anak Indonesia, khususnya pelajar yang mungkin menganggap jika hal itu sebagai sesuatu yang keren menurut sudut pandang mereka. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, pemerintah harus secepatnya turun tangan, khususnya dinas sosial, Satpol Pamong Praja agar segera menertibkan mereka.

Anak punk banyak disama artikan sebagai perusuh, anak urakan, berandalan, penjahat jalanan. Mereka juga disebut sebagai glue sniffer. Hal ini karena banyak dari mereka (anak-anak punk atau disebut punker) yang suka ngelem alias mabuk dengan menghirup lem berbau tajam. Bukan hanya lem, mereka juga sudah terbiasa hidup dengan mengonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang, seks bebas, bahkan melakukan berbagai tindakan kriminal.

Kebiasaan buruk yang ditunjukkan oleh punker seperti ngelem sangat berbahaya, bukan hanya bagi mereka (punker) tetapi sangat dikhawatirkan kebiasan buruk ini menular pula kepada generasi muda Indonesia umumnya. Mereka akan memiliki persepsi jika untuk mabuk tidak perlu membeli minuman keras, tidak perlu memakai obat-obatan terlarang tetapi cukup dengan menghirup lem berbau menyengat yang dijual bebas pun sudah dapat memuaskan dahaga ngefly mereka. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan oleh pemerintah karena dapat merusak kelangsungan generasi muda Indonesia yang notabene sebagai generasi penerus bangsa. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa keberadaan mereka di Indonesia tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan Undang-Undang maupun aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan keberadaan mereka yang melakukan pelanggaran keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.

Dalam hal ini, kebiasaan mereka yang suka nonkrong di lampu merah pun dapat menggangu arus lalu lintas sekaligus mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 258 Undang-undang Republik Indonesia tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan “Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan saran dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeilharaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.” Berdasarkan hal ini maka ada kewajiban yang harus dipatuhi oleh para punker sebagai salah satu pengguna jalan untuk menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.

Namun faktanya, mereka biasa berkumpul di lokasi jalan yang berlampu merah lalu meminta pengguna jalan untuk memberikan sejumlah uang, ada yang melakukannya dengan mengamen bermodal tepuk tangan hingga pemaksaan, pemerasan, pemalakan dengan ancaman. Mereka pun seringkali menghentikan mobil bak terbuka maupun truk dengan berdiri di tengah jalan dengan maksud untuk meminta pengendara mobil berhenti untuk memberikan tumpangan. Tentu hal ini pun dapat membahayakan mereka dan pengguna jalan lainnya. Selain itu mobil bak terbuka dan truk sebagai mobil angkutan barang bukan dipergunakan sebagai alat angkutan orang sehingga jika hal itu terjadi maka jelas melanggar aturan berlalu lintas. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal (47) dijelaskan bahwa mobil barang adalah mobil yang diperuntukkan untuk mengangkut barang, bukan untuk mengangkut orang.”

Kehidupan ala jalanan yang menawarkan hidup yang keras dan cenderung negatif memicu dan membentuk kepribadian mereka yang tak jauh dari kekerasan. Aktivitas punker yang menerjang aturan itulah yang mengharuskan pemerintah untuk menangkap mereka. Sebab jika hal ini dibiarkan keberadaan mereka akan meresahkan warga dan membuat lingkungan menjadi tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Jadi, ini alasan lain mengapa anak-anak punk harus ditangkap untuk ditertibkan.

Jadi, pemerintah tidak boleh membiarkan anak-anak punk berkeliaran di jalan-jalan. Pemerintah harus melakukan operasi ketertiban agar masyarakat tidak dibuat resah oleh keberadaan anak-anak punk. Mereka harus ditangkap kemudian dimasukkan ke lembaga atau dinas sosial agar mendapatkan pembinaan, pelatihan keterampilan kemudian dikembalikan kepada orang tua atau wali mereka. Jika mereka dibiarkan bebas, jelas akan menambah maraknya kejahatan jalanan sekaligus secara sosial keberadaan mereka cukup meresahkan masyarakat.


Menolak (Kontra)

Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskan, UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasca diamandemen, UUD 1945 telah menghasilkan rumusan Undang Undang Dasar yang jauh lebih memiliki kekuatan hukum dalam menjamin hak konstitusional warga negara.

Keberadaan anak punk di Indonesia jangan dipandang sebelah mata. Hal ini merupakan suatu fenomena sosial yang harus ditanggapi oleh pemerintah secara bijaksana, serius dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki aturan perundang-undangan yang mengatur tentang keberadaan gepeng , anak jalanan, fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Pemerintah dan UUD 1945 khususnya Pasal 34 ayat (1) berkorelasi,berkaitan dengan penanganan anak-anak jalanan seperti anak punk. Dalam Pasal 34 ayat (1) mengatakan bahwa Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.  Hal tersebut berarti bahwa gelandangan, pengemis dan anak-anak jalanan dipelihara atau diberdayakan oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa para punker ini bukan ditangkap atau dipenjarakan namun mereka dipelihara misalnya kebutuhan mereka akan tempat tinggal dapat dipenuhi oleh pemerintah dengan mendirikan rumah singgah, atau mereka dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan agar terjadi peningkatan keterampilan sebagai bekal kehidupan mereka.

Masih banyak kita melihat di perkotaan dan di daerah-daerah penyangga kota kabupaten atau kota madya terlihat anak-anak punk (punker) berada di jalanan, pusat keramaian, dan lampu merah. Keberadaan mereka sebenarnya tidak ingin menjadi perusak keindahan suatu kota, mereka hanya butuh wadah untuk menyalurkan keunikan, jiwa seni, dan sikap kemandirian mereka. Jika pemerintah menyediakan tempat, bagi mereka berkreasi, belajar tentang seni secara terarah, belajar berwirausaha secara mandiri maka diyakini masyarakat bahkan pemerintah tidak perlu resah akan keberadaan para punker.

Perlu diketahui bersama bahwa punker dapat dikategorikan sebagai anak-anak terlantar sama halnya dengan anak-anak jalanan, anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya karena kemiskinan yang melanda. Ironis memang, banyak para punker yang menjadi gepeng dan anak jalanan dengan mengadu nasib dan menyerahkan hidup mereka di jalanan. Lebih ironis lagi jika ternyata diketahui jumlah mereka semakin banyak bahkan meningkat setiap tahunnya, bahkan mereka menjadi ladang bisnis baru bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Hal ini harusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang mengempanyekan menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Kejadian ini membuktikan bahwa apa yang digaungkan oleh pemerintah ternyata tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yaitu “Fakir Miskin dan anak - anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sebenarnya sejauh mana peran pemerintah untuk menjalankan pasal tersebut? Hal ini tentu patut kita pertanyakan. Selain itu, pemerintah juga seharusnya ingat bahwa di dalam pembukaan UUD 1945 menyebutkan jika Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk    memajukan  mensejahterakan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal ini seharusnya bukan hanya sebagai metafora saja melainkan diimplementasikan secara nyata oleh pemerintah.

Melihat fenomena di lapangan bahwa implementasi amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) ternyata bagaikan api yang jauh dari panggang. Kita melihat di berbagai media bahwa penertiban gepeng dan anak jalanan (termasuk di dalamnya punker) tidak berlandaskan nilai kemanusiaan. Kerap kali petugas memaksa mereka dengan tindakan yang kurang manusiawi saat akan dibawa ke mobil penertiban, layaknya menagkap hewan buruan. Setelah mereka berhasil “diamankan” lalu mereka pun dibawa ke tempat rehabilitasi sosial untuk di data namun setelah itu mereka dilepaskan kembali begitu saja. Sehingga pun akhirnya menghiasi jalanan, perempatan lampu merah, di terminal bus, dan tempat-tempat keramaian lainnya. Sedikit sekali dari mereka-gepeng dan anak jalanan yang diberdayakan atau disekolahkan. Padahal pemerintah seharusnya jika kembali ke Undang-Undang Pasal 34 ayat (1) tentunya sudah menyediakan dana untuk merealisaikan pelaksanaan Undang-Undang Pasal 34 ayat (1) tersebut.

Gelandangan, pengemis dan anak jalanan seperti anak-anak punk juga merupakan manusia yang kurang beruntung. Banyak sekali dari mereka yang kemudian malah menjadi korban kejahatan jalanan. Selain itu anak-anak punk juga kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, misalnya saja mereka diminta menjadi pengedar obat-obatan terlarang. Bukan itu saja, mereka pun ada yang menjadi korban pelecehan seksual mengingat pergaulan mereka yang tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang layaknya anak-anak. Oleh karena itu, mereka sesungguhnya bukanlah pelaku kejahatan bahkan seorang kriminal melainkan mereka adalah korban ketidaktahuan dan kurangnya kasih sayang, perhatian. Oleh karena itu, sangat keliru jika mereka harus ditangkap.

Jadi, pemerintah harus memperhatikan dan memberdayakan anak-anak punk ini secara sungguh-sungguh, tidak memandang sebelah mata.  Sebab, sebenarnya mereka banyak juga yang kreatif dan mampu berinovasi dibeberapa bidang seperti musik, prakarya dengan memanfaatkan barang bekas dan masihh banyak lagi. Pemerintah cukup menyediakan sanggar, rumah singgah, pelatih keterampilan atau seorang konsultan, psikolog, dokter yang mungkin menjadi kebutuhan mereka agar dapat lebih diberdayakan dan menjadi orang yang bermanfaat minimal bagi hidupnya. Jika hal ini dilakukan oleh pemerintah bukan tidak mungkin hal yang buruk itu seperti kejahatan jalanan, pelecehan seksual dan hal lainnya yang sering menimpa anak punk tidak terjadi bahkansecara umum dapat membuka lapangan pekerjaan alternatif. Bukan hanya pemerintah pusat, tetapi campur tangan pemerintah daerah mulai dari kabupaten hingga kecamatan sampai pedesaan harus ikut serta aktif memberikan pembinaan kepada warga masyarakat agar mereka tidak menganggap anak punk sebagai berandalan, penjahat jalanan atau anak urakan. Mereka pun warga negara yang berhak diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan Undang-Undang.


Sebagai materi debat bahasa Indonesia tingkat SMA/SMK Kab. Brebes Tahun 2018

4 komentar:

  1. Mantap pak ���� karyanya bagus

    BalasHapus
  2. Terimakasih Pak,Informasi yang sangat membantu

    BalasHapus
  3. terimakasih infonya gan
    jangan lupa kunjungi https://ppns.ac.id/ dan betmenoi.wordpress.com

    BalasHapus
  4. Hal yang menjadi identitas mereka adalah rambut Mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala freecut dan diwarnai dengan warna yang mencolok (terang), tubuh dipenuhi tattoo
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus