MENDUKUNG (PRO)
Punk adalah
bukan sekedar musik tapi lebih kepada sebuah gerakan anak muda (youth movement) yang memposisikan
dirinya sebagai perlawanan (counter)
terhadap kemapanan, anti sosial, dan
salah satu sarana kreatifitas mereka adalah musik dalam hal ini
adalah Punk. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri,
melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang
kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Mereka
yang menjadi pengikut aliran punk kemudian dikenal dengan nama punker.
Sebagaimana diketahui bahwa gaya hidup yang dianut kaum punker ini jauh dari
tertib, jauh dari kata normal, jauh dari istilah teratur. Gaya hidup mereka
lebih condong ke arah kebebasan bahkan anarkisme. Mereka memiliki ideologi yang
mengutamakan kebebasan, mengatur diri sendiri. Mereka merasa jika hukum dan
aturan merupakan bentuk kediktatoran, tata tertib merupakan belenggu kehidupan
yang bersifat memaksakan kehendak. Bahkan mereka menganjurkan agar masyarakat
tanpa negara. Mereka berpendapat jika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri tanpa perlu adanya campur tangan dari negara.
Hal
yang menjadi identitas mereka adalah rambut Mohawk
ala suku Indian, atau dipotong ala freecut
dan diwarnai dengan warna yang mencolok (terang), tubuh dipenuhi tattoo,
suka berkeliaran di jalanan, nongkrong di lampu-lampu merah dengan pakaian
urakan, celana robek-robek, muka lusuh, rantai, sepatu boot, dan kaos oblong
warna hitam dengan gambar seram. Dengan melihat penampilan mereka yang terkesan
urakan dan dekil saja sudah mengganggu pemandangan sebagai masyarakat timur.
Mereka membawa budaya barat yang sangat bertentangan dengan budaya Indonesia
yang luhur, agung, dan sangat santun. Jika mereka masih dibiarkan berkeliaran
maka bukan tidak mungkin, gaya maupun penampilan mereka kemudian diikuti oleh
anak-anak Indonesia, khususnya pelajar yang mungkin menganggap jika hal itu
sebagai sesuatu yang keren menurut sudut pandang mereka. Tentu hal ini tidak
bisa dibiarkan, pemerintah harus secepatnya turun tangan, khususnya dinas
sosial, Satpol Pamong Praja agar segera menertibkan mereka.
Anak
punk banyak disama artikan sebagai perusuh, anak urakan, berandalan,
penjahat jalanan. Mereka juga disebut sebagai glue sniffer. Hal ini karena banyak dari mereka (anak-anak punk
atau disebut punker) yang suka ngelem alias
mabuk dengan menghirup lem berbau tajam. Bukan hanya lem, mereka juga sudah
terbiasa hidup dengan mengonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang, seks bebas,
bahkan melakukan berbagai tindakan kriminal.
Kebiasaan
buruk yang ditunjukkan oleh punker seperti ngelem
sangat berbahaya, bukan hanya bagi mereka (punker) tetapi sangat
dikhawatirkan kebiasan buruk ini menular pula kepada generasi muda Indonesia
umumnya. Mereka akan memiliki persepsi jika untuk mabuk tidak perlu membeli
minuman keras, tidak perlu memakai obat-obatan terlarang tetapi cukup dengan
menghirup lem berbau menyengat yang dijual bebas pun sudah dapat memuaskan
dahaga ngefly mereka. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan
oleh pemerintah karena dapat merusak kelangsungan generasi muda Indonesia yang
notabene sebagai generasi penerus bangsa. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa keberadaan
mereka di Indonesia tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia dan
bertentangan dengan Undang-Undang maupun aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan keberadaan mereka yang melakukan pelanggaran keamanan,
keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
Dalam
hal ini, kebiasaan mereka yang suka nonkrong di lampu merah pun dapat menggangu
arus lalu lintas sekaligus mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 258 Undang-undang Republik Indonesia tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan menjelaskan “Masyarakat
wajib berperan serta dalam pemeliharaan saran dan prasarana jalan, pengembangan
disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeilharaan
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan.” Berdasarkan hal ini maka ada kewajiban yang harus dipatuhi oleh
para punker sebagai salah satu pengguna jalan untuk menaati peraturan yang
telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.
Namun
faktanya, mereka biasa berkumpul di lokasi jalan yang berlampu merah lalu meminta
pengguna jalan untuk memberikan sejumlah uang, ada yang melakukannya dengan
mengamen bermodal tepuk tangan hingga pemaksaan, pemerasan, pemalakan dengan
ancaman. Mereka pun seringkali menghentikan mobil bak terbuka maupun truk
dengan berdiri di tengah jalan dengan maksud untuk meminta pengendara mobil
berhenti untuk memberikan tumpangan. Tentu hal ini pun dapat membahayakan
mereka dan pengguna jalan lainnya. Selain itu mobil bak terbuka dan truk sebagai
mobil angkutan barang bukan dipergunakan sebagai alat angkutan orang sehingga
jika hal itu terjadi maka jelas melanggar aturan berlalu lintas. Dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal
(47) dijelaskan bahwa “mobil barang
adalah mobil yang diperuntukkan untuk mengangkut barang, bukan untuk mengangkut
orang.”
Kehidupan
ala jalanan yang menawarkan hidup yang keras dan cenderung negatif memicu dan
membentuk kepribadian mereka yang tak jauh dari kekerasan. Aktivitas punker
yang menerjang aturan itulah yang mengharuskan pemerintah untuk menangkap
mereka. Sebab jika hal ini dibiarkan keberadaan mereka akan meresahkan warga
dan membuat lingkungan menjadi tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Jadi, ini
alasan lain mengapa anak-anak punk harus ditangkap untuk ditertibkan.
Jadi,
pemerintah tidak boleh membiarkan anak-anak punk berkeliaran di jalan-jalan.
Pemerintah harus melakukan operasi ketertiban agar masyarakat tidak dibuat
resah oleh keberadaan anak-anak punk. Mereka harus ditangkap kemudian
dimasukkan ke lembaga atau dinas sosial agar mendapatkan pembinaan, pelatihan
keterampilan kemudian dikembalikan kepada orang tua atau wali mereka. Jika
mereka dibiarkan bebas, jelas akan menambah maraknya kejahatan jalanan
sekaligus secara sosial keberadaan mereka cukup meresahkan masyarakat.
Menolak (Kontra)
Undang - Undang Dasar 1945 adalah
Landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri
ini telah merumuskan, UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasca diamandemen, UUD 1945
telah menghasilkan rumusan Undang Undang Dasar yang jauh lebih memiliki
kekuatan hukum dalam menjamin hak konstitusional warga negara.
Keberadaan anak punk di Indonesia
jangan dipandang sebelah mata. Hal ini merupakan suatu fenomena sosial yang
harus ditanggapi oleh pemerintah secara bijaksana, serius dan berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Sebagai negara hukum,
Indonesia memiliki aturan perundang-undangan yang mengatur tentang keberadaan gepeng
, anak jalanan, fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Pemerintah dan UUD 1945 khususnya Pasal
34 ayat (1) berkorelasi,berkaitan dengan penanganan anak-anak jalanan seperti
anak punk. Dalam Pasal 34 ayat (1) mengatakan bahwa “ Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Hal tersebut berarti bahwa gelandangan,
pengemis dan anak-anak jalanan dipelihara atau diberdayakan oleh negara yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa para punker ini bukan
ditangkap atau dipenjarakan namun mereka dipelihara misalnya kebutuhan mereka
akan tempat tinggal dapat dipenuhi oleh pemerintah dengan mendirikan rumah
singgah, atau mereka dikumpulkan untuk mendapatkan pelatihan agar terjadi
peningkatan keterampilan sebagai bekal kehidupan mereka.
Masih banyak kita melihat di perkotaan dan di daerah-daerah penyangga kota kabupaten atau kota madya terlihat anak-anak punk (punker) berada di jalanan, pusat keramaian, dan lampu merah. Keberadaan mereka sebenarnya tidak ingin menjadi perusak keindahan suatu kota, mereka hanya butuh wadah untuk menyalurkan keunikan, jiwa seni, dan sikap kemandirian mereka. Jika pemerintah menyediakan tempat, bagi mereka berkreasi, belajar tentang seni secara terarah, belajar berwirausaha secara mandiri maka diyakini masyarakat bahkan pemerintah tidak perlu resah akan keberadaan para punker.
Perlu diketahui bersama bahwa punker
dapat dikategorikan sebagai anak-anak terlantar sama halnya dengan anak-anak
jalanan, anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya karena kemiskinan yang
melanda. Ironis memang, banyak para punker yang menjadi gepeng dan anak jalanan
dengan mengadu nasib dan menyerahkan hidup mereka di jalanan. Lebih ironis lagi
jika ternyata diketahui jumlah mereka semakin banyak bahkan meningkat setiap
tahunnya, bahkan mereka menjadi ladang bisnis baru bagi pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Hal ini harusnya menjadi tamparan keras
bagi pemerintah yang mengempanyekan menekan angka kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin. Kejadian ini membuktikan bahwa apa yang
digaungkan oleh pemerintah ternyata tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh
UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yaitu “Fakir
Miskin dan anak - anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sebenarnya sejauh
mana peran pemerintah untuk menjalankan pasal tersebut? Hal ini tentu patut
kita pertanyakan. Selain itu, pemerintah juga seharusnya ingat bahwa di dalam pembukaan
UUD 1945 menyebutkan jika “Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan mensejahterakan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.” Hal
ini seharusnya bukan hanya sebagai metafora saja melainkan diimplementasikan
secara nyata oleh pemerintah.
Melihat fenomena di lapangan bahwa implementasi amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) ternyata bagaikan api yang jauh dari panggang. Kita melihat di berbagai media bahwa penertiban gepeng dan anak jalanan (termasuk di dalamnya punker) tidak berlandaskan nilai kemanusiaan. Kerap kali petugas memaksa mereka dengan tindakan yang kurang manusiawi saat akan dibawa ke mobil penertiban, layaknya menagkap hewan buruan. Setelah mereka berhasil “diamankan” lalu mereka pun dibawa ke tempat rehabilitasi sosial untuk di data namun setelah itu mereka dilepaskan kembali begitu saja. Sehingga pun akhirnya menghiasi jalanan, perempatan lampu merah, di terminal bus, dan tempat-tempat keramaian lainnya. Sedikit sekali dari mereka-gepeng dan anak jalanan yang diberdayakan atau disekolahkan. Padahal pemerintah seharusnya jika kembali ke Undang-Undang Pasal 34 ayat (1) tentunya sudah menyediakan dana untuk merealisaikan pelaksanaan Undang-Undang Pasal 34 ayat (1) tersebut.
Gelandangan, pengemis dan anak jalanan seperti
anak-anak punk juga merupakan manusia yang kurang beruntung. Banyak sekali dari
mereka yang kemudian malah menjadi korban kejahatan jalanan. Selain itu anak-anak
punk juga kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, misalnya
saja mereka diminta menjadi pengedar obat-obatan terlarang. Bukan itu saja,
mereka pun ada yang menjadi korban pelecehan seksual mengingat pergaulan mereka
yang tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang layaknya anak-anak. Oleh
karena itu, mereka sesungguhnya bukanlah pelaku kejahatan bahkan seorang
kriminal melainkan mereka adalah korban ketidaktahuan dan kurangnya kasih
sayang, perhatian. Oleh karena itu, sangat keliru jika mereka harus ditangkap.
Jadi, pemerintah harus memperhatikan dan
memberdayakan anak-anak punk ini secara sungguh-sungguh, tidak memandang
sebelah mata. Sebab, sebenarnya mereka
banyak juga yang kreatif dan mampu berinovasi dibeberapa bidang seperti musik,
prakarya dengan memanfaatkan barang bekas dan masihh banyak lagi. Pemerintah
cukup menyediakan sanggar, rumah singgah, pelatih keterampilan atau seorang
konsultan, psikolog, dokter yang mungkin menjadi kebutuhan mereka agar dapat
lebih diberdayakan dan menjadi orang yang bermanfaat minimal bagi hidupnya.
Jika hal ini dilakukan oleh pemerintah bukan tidak mungkin hal yang buruk itu seperti
kejahatan jalanan, pelecehan seksual dan hal lainnya yang sering menimpa anak
punk tidak terjadi bahkansecara umum dapat membuka lapangan pekerjaan
alternatif. Bukan hanya pemerintah pusat, tetapi campur tangan pemerintah
daerah mulai dari kabupaten hingga kecamatan sampai pedesaan harus ikut serta
aktif memberikan pembinaan kepada warga masyarakat agar mereka tidak menganggap
anak punk sebagai berandalan, penjahat jalanan atau anak urakan. Mereka pun
warga negara yang berhak diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan
Undang-Undang.
Sebagai materi debat bahasa Indonesia tingkat SMA/SMK Kab. Brebes Tahun 2018